Ragam Cara Menikmati Kopi

Ragam Cara Menikmati Kopi:
Win Tegak Tiga Gelas Kopi Berbeda

Dataran Tinggi Gayo sebagai sentral kopi arabika terbesar di Asia saat ini memiliki ragam cara penduduk gayo menikmati kopi.Awalnya, warga gayo lebih memilih kopi robusta sebagai bahan baku minuman kopi . Hal ini didasari rasa yang dinilai lebih cocok untuk lidah penduduk.
Selain soal rasa, kandungan kafein yang lebih tinggi menjadi alas an lain. Seperti diketahui, sejak kecil warga Dataran Tinggi di Aceh ini sudah terbiasa minum kopi. Sehari bisa mencapai 3-5 gelas bahkan lebih.
Robusta di awal perkebunan kopi rakyat gayo, dinilai lebih mudah perawatannya. Atau bahkan tanpa perawatan sama sekali. Begitu ditanam, dibiarkan berkembang hingga diameter pohon robusta membesar yang menandakan kopi jenis ini sudah hidup puluhan tahun.
Alasan lain warga gayo menanam kopi robusta, terutama di pinggiran Takengon karena ketandusan lahan. Robusta dinilai cocok dan mampu hidup didaerah tandus, terutama yang berhawa lebih panas atau dataran rendah.
Seperti Kecamatan Bintang, Silih Nara, hingga Kecamatan Linge, bekas Kerajaan Islam Linge. Menurut Rasidin, seorang pengusaha kopi bubuk di Takengon, dia banyak mengambil kopi robusta warga dari beberapa Kecamatan tadi yang dinilainya kualitas robusta terbaik di Aceh Tengah.
“Penduduk di beberapa Kecamatan yang berhawa panas di Takengon menjadikan kopi robusta sebagai tabungan”, kata Rasidin yang kini beromzet ratusan juta sebulan dari produk kopi bubuknya yang didominasi robusta.
Kok bisa?. Dikatakan Rasidin, penduduk di beberapa Kecamatan Pinggiran Takengon memanen robusta kemudian menjemurnya dengan kulit buahnya hingga kering.
“Kopi robusta kering disimpan diatas rumah dan baru dijual saat membutuhkan uang untuk berbagai keperluan rumah tangga. Kopi robusta kering bisa disimpan berbulan bahkan bertahun”, ujar Rasidin.
Bersama kopi robusta, awal perkebunan kopi rakyat di Takengon, masyarakat dataran tinggi ini juga menaman varietas awal, yakni, jember dan ramong. Setelah era robusta, jember dan varitas ramong, kini perkebunan kopi rakyat gayo memasuki decade kopi berbasis arabika yang lebih disukai pasar kopi internasional.Puluhan varitas arabika, seperti ateng super, ateng jaluk, tim-tim, borbor, timtim super dan sejumlah varietas lainnya, mendominasi perkebunan warga.
Apapun jenis kopinya, ternyata beragam cara warga Takengon menikmati kopi menarik diikuti-------------------------------------------

Banyak cerita bagaimana warga pedalaman Aceh ini menyeruput kopi sebagai bagian minuman wajib yang selalu harus ada.Jika berada dirumah, petani gayo biasanya meminum kopi secara elegant.
Bubuk kopi diseduh dengan air panas yang baru mendidih. Selalu pakai gula putih dari tebu atau ada juga yang menggunakan gula aren. Nah jika sedang berada di kebun atau peruweren. Peruweren adalah lokasi warga gayo menggembalakan kerbau. Lokasinya biasanya di kawasan hutan yang jauh dari pemukiman.
Kopi dibuat lebih spesipik. Gaya para petualang. Ini bagian yang paling menarik dari minum kopi di gayo. Caranya, bubuk kopi dimasukkan kedalam wadah yang berisi air. Lalu dimasak diatas tungku perapian.Setelah mendidih, air panas yang sudah berisi bubuk kopi panas dituangkan dalam gelas baru diberi gula.Gulanya, gula putih atau gula aren. ---------------------------------

Suatu waktu, disore hari dengan hawa sejuk kota pegunungan Takengon yang menurut Mentroe Malik Mahmud mirip Switzerland, dengan barisan pinus mercusi dan view danaunya, aku membuka internet sambil menunggu pelanggan.
Ria bersama Ayu datang. Keduanya adalah kru pengelola situs berita internet lovegayo yang diluncurkan dari Takengon. Situs lovegayo.com awalnya berasal dari komunitas jejaring social yang membentuk halaman sendiri, I Love Gayo.
Ria lebih memilih meminum latte. Kopi berbahan dasar sari kopi yang didominasi susu segar ditambah busa susu (foam). Sementara Ayu, gadis jangkung , lebih memilih espresso. Sari kopi. Aku agak kaget. Karena Ayulah perempuan pertama di warungku yang minum kopi espresso.
Awalnya Ayu juga agak ragu meminum espresso. Apakah akan beresiko meminumnya. Aku meyakinkan Ayu, ngak ada masalah kalau memang Ayu penyuka kopi. Ayu menegak espresso.
“Wah gawat juga perempuan ini. Benar-benar pecandu kopi”, gumanku hanya dalam hati.

Berbeda dengan Ayu, pecandu kopi lainnya adalah Roni, pengusaha warung ternama di Jalan Sengeda Takengon, Kenari. Lelaki muda berkulit putih ini, jika minum kopi tak cukup satu gelas.Satu gelas pertama, Roni biasanya minum espresso. Kopi bergelas kecil yang ukurannya hanya 30 mililiter. Setelah itu Roni biasa menegak cappuccino atau black coffee.

Demikian halnya beberapa warga asing yang berwisata ke Takengon. Seperti Sofie dan Hilda. Keduanya minum masing-masing tiga gelas kopi dari menu yang berbeda. Umumnya, para bule ini yang kerap dipanggil jeget karena warna kulitnya, meminum kopi dalam waktu yang lama. Mereka benar-benar menikmati setiap tegukan kopi. Gelas pertama, cappuccino, kemudian black coffee dan ditutup ice coffee.
Wisatawan Barat ini umumnya meminum kopi, bagaimanapun pahitnya, tanpa gula. Mereka benar-benar menikmati rasa kopi yang pahit tapi membikin kecanduan. Dari sekian peminum kopi fanatic ini, kemarin malam (28/4/11) aku kedatangan tamu.
Namanya Win, wajahnya dipenuhi bulu. Jenggot, kumis dan jambang. Berperawakan kecil. Layaknya lelaki Pesisir Aceh.Karena ayahnya berasal dari Pesisir Aceh. Win mewakili karakter Pesisir yang macho, dengan hidung mancungnya. Penampilannya kalem.Sorot matanya tajam.Kurus. Bulu diwajahnya tampaknya selalu dicukur.
Aku mengenal Win sudah lama. Profesinya adalah agen Koran terbitan Aceh. Tinggal di Paya Tumpi. Meski kenal Win, aku tak kenal dekat dengannya. Jika hidup di Jakarta aku yakin Win bisa jadi bintang sinetron mengalahkan Teuku Wisnu.Hehehe.
Win datang malam hari. Duduk diatas kursi bar. Berjaket kuning dan celana Jins. “Mane teku ku betih ara mesin espresso isien boh”, kata Win membuka pembicaraan. Aku tersenyum. Saat Win dating malam kemarin, aku sudah pulang kerumah karena hujan dan kuanggap tak ada lagi tamu yang dating minum kopi.
Setelah berbicara kuojong kuralek, Win pesan kopi.”Espresso yah”, kata Win. Sebelumnya aku mendengar dari seorang staf Bergendal Kopi, Juhka, salah seorang pelanggan mereka adalah Win. Namun aku tak menduga kalau Win peminum berat kopi.
Win seperti menegak air putih saja. Satu gelas espresso lewat dengan cepat dari tenggorokannya. Win kemudian memesan gelas berikutnya. Americano. Minuman double Shot kopi. Ukuran untuk dua gelas dijadikan satu gelas.
Aku bertanya pada Win, apakah Amricanonya dicampur air panas. Karena ada dua cara meminum kopi Americano. Murni kopi tanpa tambahan air panas atau ditambah air panas. Win menyatakan tanpa campur air panas. Gawat pikirku. Win menikmati Americano agak lama.
Saat akan menggrinder kopi, Win memintaku agar grinder menghaluskan kopi lebih halus (Finer) . Tidak terlalu kasar (coarser) sehingga kopi yang dihasilkan lebih pekat dan alirannya lebih lama.
Dua gelas lewat tenggorokannya. Win tak berhenti, dia ingin menutup minum kopi malam Jum’at itu dengan Cappucino. Menurut Win, sering dia minum kopi sekali duduk hingga menghabiskan biaya diatas Rp.50 ribu.
Win berpendapat, kopi mampu menghilangkan candu rokok ditubuhnya. Oleh sebab itu, lelaki ini mampu meminum kopi dalam jumlah banyak sekali duduk. “Saya pernah minum kopi di Bergendal kopi hingga gemetar”, ujar Win kepadaku.
“Setelah minum kopi , paginya, saya melihat air seniku menjadi kuning. Berarti nikotin rokok sudah dibersihkan”, kata Win berpendapat. Aku tak tahu apakah paham Win benar atau tidak.
Menurut Juhka, seorang pegawai Bergendal Kopi, suatu kali dia pernah melayani peminum kopi yang datang ke Bergendal Kopi.Lelaki yang dating ini, menurut dugaanku Juhka adalah petani. Masih muda.
“Bang , osah abangpe kupi”, kata petani ini pada Juhka sembari duduk. Karena tidak jelas pesanannya, Juhka memberi petani ini kopi Espresso. Begitu melihat gelas espresso yang kecil, petani ini sempat protes.
“Yah kupi sanake lagu ini kucakni gelase” , kata petani di teritit ini protes. Juhka memberi toples gula putih pada petani itu. Setelah diberi gula, petani itu minum. Kemudian berteriak lagi, “Yah kupi sana ke ini bang pit pedi”, katanya pada Juhka sedikit berteriak.
Juhka hanya tersenyum. Saat akan membayar, petani ini juga protes lagi. “Kupi sana ke lagu ini mal pedi”, ucapnya lagi pada Juhka. Juhka kembali tersenyum. Mungkin karena penasaran, papar Juhka, petani muda itu esoknya dating lagi ke Bergendal.
Dia dating bersama beberapa temannya. “Kupi bang Yoh. Enti lagu kupi mane yoh”, katanya pada Juhka. Juhka hanya tersenyum lebar. (Aman Shafa)


Komentar

Postingan Populer