Antara Sofie,L300 dan Aku

Antara Sofie , L300 dan Aku

“Apakah tidur menggunakan lampu yang sangat terang itu agama?”, kata Sofie kepadaku.Pertanyaan Sofie itu dinyatakan Sofie setelah melihat saat malam hari lampu di kamar keluargaku, semuanya menyala.

Aku tentu saja menjawabnya tidak. Karena apabila lampu mati, anak-anakku akan takut dan menangis sehingga lampu pada malam hari selalu harus menyala. Sementara menurut Sofie di Belgia sana, mereka biasa tidur tanpa nyala lampu.Itu kebiasaan warga Belgia.
“Di Turki, ada semacam kepercayaan, jika lampu dinyalakan malam hari, hantu akan takut dan menjauh. Sementara antara Turki dan warga disini punya kepercayaan yang sama”, kata Sofie.
----------------------------


Aku belum kenal Sofie dan seorang temannya yang berasal dari Belgia. Aku mengenal Sofie dari sebuah situs jejaring social untuk para warga dunia yang suka berpergian keliling dunia.
Meski aku belum pernah keliling dunia, tapi aku masuk komunitas social ini. Aku berharap, suatu saat bisa mengelilingi dunia. Kenapa tidak. Pikirku. Bermimpi dan berkhayal, tidak melanggar syariat Islam yang berlaku di Aceh. Paling tidak aku bisa mengenalkan Negeri Antara, Gayohighland kepada tamuku yang berasal dari luar sana. Jika mereka berada di Takengon.
Aku ingin mereka bercerita tentang sebuah tempat yang bernama “Gayo “ yang menurut Bob Mat Kodak asal Tembilahan, Riau, seorang Fotografer , yang hasil fotonya disukai warga asing, adalah sekeping tanah Surga yang terlempar kedunia.
Dandim 0106, Letkol Inf Sarwoyadi, juga menyebut gayo dengan ungkapan sama. Sekeping tanah surga yang terhempas kedunia. Mereka berdua tentu saja punya alasan kuat untuk memakai nama itu.
Dalam istilah jejaring social untuk traveler ini, mereka yang menampung wisman, disebut host. Sofie mengontakku via situs itu. Sofie menanyakan kepadaku, apakah aku mau menjadi host dia dan temannya, jika berada di Takengon.
Tentu saja aku menjawab bisa. Setelah bermupakat dengan istriku. Karena dialah Nahoda dirumah dengan segala bidangnya. Waktu berlalu. Setelah melakukan kontak tersebut, Sofie keluar Pulau Weh dengan Boat ke Banda Aceh. Aku cemburu pada Sofie, meski dalam hati. Sebabnya, karena para bule yang datang dari antero dunia sudah masuk dan keluar Pulau Weh. Tapi aku belum pernah kesana.Tapi aku punya alas an kenapa belum bisa kesana , karena waktu yang mengikat gerakku, selain itu, tak ada cukup uang yang bisa dibelanjakan untuk liburan serupa itu. Kebutuhan lain lebih mendesak.Untuk rumah dan sekolah serta jajan anak-anankku.
Keindahan kampungku, yang tentu saja harus kusyukuri sebagai anugerah Allah, dengan caraku sendiri. Telah membuat aku sepertinya enggan beranjak dari sini. Allah begitu sayang dan bermurah bagi penduduk Gayo. Dengan alamnya, potensi tambang , pertanian dan perkebunan kopi yang tumbuh optimum.Alhamdulillah Yaa Allah, ingaktkan kami tetap bersyukur atas tanah ini. Baik dalam suka dan duka. Semoga Engkau tidak meninggalkan kami, karena kelalaian mengolah tanah subur ini dan kurangnya rasa syukur.Jangan marah yaa Allah. Karena jika Engkau marah, mudah bagiMu menghancurkan tanah surga ini. Ada gunung berapi yang siap menunggu perintahMu…Ampun Yaa Allah. Ah..semoga Allah tidak marah dan tidak pernah marah.
Semoga “silent army”Mu, tetap silent hingga kiamat.

Sabtu, 23 April 2011. Masalah timbul. Sofie meneleponku dari Bireuen. Dia protes karena L300 yang dinaikinya dari Banda Aceh ke Takengon, menurunkannya di Bireuen karena minibus tersebut ternyata bertrayek Banda Aceh-Medan.

“Saya membayar ongkos dari Banda Aceh ke Takengon. Bukan ke Bireuen”, katanya marah ditelepon. Supir L300 dari Banda Aceh memindahkannya ke L300 lain di Bireuen yang menuju Takengon.
Supir L300 di Bireuen yang akan membawa Sofie dan rekannya ke Takengon memintaku menjelaskan kepada Sofie bahwa Sofie dan temannya tidak bisa lagi duduk di CC karena sudah ditempati orang lain. Melalui sambungan telepon. Hp sang supir kemudian diberikan ke Sofie guna mendengar penjelasanku. Tentu saja dengan bahasa Inggris ala kampong yang kumiliki.
Aku mencoba menjelaskan pada Sofie tentang perpindahan kenderaan dan posisi duduk. Namun Sofie ngotot tetap tak ingin duduk dibelakang supir karena saat mengambil tiket di Banda Aceh posisi duduknya di samping supir.
Situasi menjadi tegang. Aku yang belum pernah bertemu Sofie harus dihadapkan pada masalah perpindahan tempat duduk dan pergantian kenderaan. Sofie tak mau menyerah. Dia menyatakan harus tetap duduk di depan. Aku akhirnya meminta supir L300 yang membawa Sofie mengikuti keinginan Sofie karena kalau tidak, masalah tidak akan pernah selesai.
Sang supir yang tak sempat kutanyakan namanya, akhirnya mau. Sofie dan temannya duduk didepan. Masalah selesai. Namun aku merasa tidak enak pada Sofie karena dia kecewa pada angkutan yang dinaikinya. Bayar ongkos ke Takengon dari Banda Aceh, tapi diturunkan di Bireuen dan dipindah angkutan lain.
Aku kemudian mencoba mencari tahu kenapa masalah ini bisa muncul. Ternyata sang supir L300 dari Banda Aceh tidak bisa menjelaskan kepada kedua bule perempuan ini kalau trayeknya ke Medan. Dia tidak bisa bahasa Inggris sehingga begitu saja menaikkan penumpang tanpa penjelasan.Akhirnya kacau.
Kesalahan kedua karena Sofie dan rekannya tak bisa pula berbahasa Indonesia sehingga tidak terjadi komunikasi yang baik. Dan aku harus menjadi penengah antara supir dan Sofie.Meski belum pernah melihat langsung si “Aka” Sofie.
Sabtu malam, selepas Isya, Sofie yang telah memiliki nomor kontakku yang kuberikan lewat situs jejaring social, telpon. Dia katakana dia dan temannya sudah sampai di terminal.
Kebetulan aku bersama Jurnalisa, wartawan sebuah mingguan di Aceh. Dia kini menjadi pelanggan tetap di Gayo Espresso Kupi. Meski awalnya dia tidak minum kopi tapi teh, namun kini beralih menjadi peminum kopi fanatic. Cara menyeruput kopi serupa dengan saat tes cup kopi. Dengan sedotan kopi yang berbunyi nyaring. Sruuuuuuuup.
Menurut Jur, panggilannya. Awalnya setiap kali dia minum kopi tradisional dengan bubuk kopi, dia selalu mengalami rasa mual seperti mau muntah. Tapi sejak dia coba kopi racikanku dengan arabika asal Bergendal Kopi, mual tidak lagi dirasakannya. Dia malah kecanduan. Apalagi kopinya memakai gula rendah kalori yang banyak dijual di super market seputar Takengon yang kini menjamur.
Dengan mobil Jur, kami menjemput Sofie di Terminal Takengon. Di terminal, Sofie dan rekannya yang juga cewek asal Belgia mudah ditemukan meski malam hari karena warna kulitnya dan karena dia bule diantara penduduk local yang kebanyakan lelaki berjualan di terminal bus Takengon yang malam hari berubah menjadi warung.
Sedikit basa basi, Sofie kubawa kerumah di pinggiran Kota Takengon yang senyap. Paser alias Paya Serngi.Istriku sudah menyiapkan tempat tidurnya di ruang semile (ruang makan) yang terbuat dari papan pinus yang ditinggikan satu papan tempat kami biasa makan dengan duduk bersila untuk kaum lelaki dan cara duduk timpuh untuk perempuan.
Sofie mengatakan betapa jauhnya Banda Aceh ke Takengon. Dan itu sangat melelahkannya karena hamper seharian duduk dalam bus yang melelahkan dengan teriknya udara Pesisir Aceh.
“Jika di daratan Erofa, waktu perjalanan tiga jam, dari Belgia sudah sampai ke Francis. Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan suku yang berbeda-beda”, kata Sofie. Dua gelas kopi geste (robusta) menemani pembicaraan kami.
Di Belgia, kata Sofie, mereka biasa berbahasa Belgia yang sangat mirip dengan bahasa Belanda. Sebagian warga lainnya berbahasa Francis. Sebagai turis antara Negara, Sofie dan temannya menyiapkan diri dari kemungkinan terkena penyakit malaria. Mereka melindungi diri dengan memakan pil anti malaria atau membawa kelambu.
“Saya tak suka minum pil anti malaria. Jadi saya selalu bawa kelambu”, ungkap Sofie.

Malam berlalu. Pagi Minggu (24/04/11) kami duduk di teras depan rumah yang menghadap jalan dan sebuah Mersah, persis didepan rumah. Warga sekita lalu lalang. Ada yang membawa sapi bali untuk ditambatkan di tanah-tanah terlantar atau lahan tidur yang selama bertahun-tahun tak pernah diolah. Meski semua tanah di Kampung tersebut jelas kepemilikannya.
Ada yang membawa cangkul dan parang yang menandakan mereka akan ke kebun kopi mereka. Sebuah aktipitas kampong yang menurutku indah. Ada juga yang berangkat kerja sebagai kuli bangunan. Semua berjalan apa adanya. Semua mencari sesuap nasi untuk diri dan keluarga mereka.
“Senyum dan sapa warga ini sepertinya tulus dan apa adanya jika kami tinggal bersama warga tempatan.. Sikap warga berbeda jika kami tinggal di hotel atau bungalow”, ujar Sofie.
Sebagai pelayan kopi, aku tentu harus bekerja mencari rezeki. Aku tak bisa meninggalkan pekerjaanku. Karena kuharap sebagai barista bisa menjadi sumber ekonomiku kelak. Sofie dan temannya Hilda kutunjukkan arah jika mereka hendak ke Danau.
Sofie dan Hildapun pergi berjalan kaki dari Paya Tumpi. “Kalau berjalan satu atau dua kilometer, sudah biasa bagi kami”, kata Sofie dan keduanyapun pergi. Rencananya, setelah melihat Takengon dengan ikon Danau Lauttawarnya , keesokan harinya, Senin (25/4/2011) Sofie dan Hilda akan menuju Ketambe Aceh Tenggara.
Namun saat berada di Mendale , kedua turis Belgia ini bertemu seseorang (tidak saya sebutkan namanya demi menjaga kerahasiaan.Karena membuat tamu bule ini kecewa). Lelaki warga Takengon ini, sebut saja namanya Sirerume menyapa kedua turis ini. Karena mahir berbahasa Inggris mereka berkomunikasi dan mengajak bule ini ke sebuah tempat wisata di pinggir danau.
Sirerume kemudian menjanjikan kepada Sofie dan Hilda untuk membawa mereka keliling danau. Tentu saja, Sofie dan Hilda menerima kebaikan ajakan Sirerume. Kepadaku, Sofie dan Hilda meminta diperkenankan menginap sehari lagi dirumah karena akan melihat Danau Luttawar.
Karena idealnya, Sofie dan Hilda sudah akan ke Ketambe pada Senin ( 25/4/11). Aku bermusyawarah dengan istriku. Istriku Muharnida Wahab setuju. Aku kemudian mengijinkan kedua bule ini menginap.
Sayang, janji melihat danau dengan mobil Sirerume berakhir dengan mengecewakan Sofie dan Hilda. Karena Sofie dan Hilda hanya dibawa hingga Toweren. Kerumah Reje Baluntara. Sebuah rumah yang berusia ratusan tahun. Rumah ini dibangun tanpa satu pakupun. Milik Reje Baluntara dari Syiah Utama.
Sirerume beralasan tidak bisa mengantarkan Sofie dan Hilda karena ada acara keluarga yang tidak bisa ditinggalkannya. Sofie dan Hilda diantar kembali ke tempatku menjadi pelayan kopi, di Kantin Batas Kota.
Wajah Sofie tampak merah. Kulit bulenya yang pucat dan saya menyebutnya Jeget, tampak merona. Setelah berbasa-basi, Sirerume pulang. Tinggallah Sofie dan Hilda bersamaku. Beberapa pelangganku yang minum kopi tak tahu kemarahan Sofie.
Aku merasa tak enak setelah mendapat penjelasan Sirerume.Aku harus hadapi situasi tidak mengenakkan ini. Aku sempat mendengar ucapan Sofie pada Sirerume, “jika anda berjanji dan tidak bisa memenuhi janji tersebut, jangan pernah berjanji”, kata Sofie.
Sirerume kemudian menjawab, “Yah I will keep it in my mind”, kata Sirerume kemudian pulang. Aku mohon maaf pada Sofie dan Hilda atas kejadian ini. Sofie dan Hilda kemudian curhat denganku.
Menurut Sofie, dari awal janji, Sirerume sudah melanggar janji. Janji Sirerume akan menjemputnya pukul 09.00Wib, molor hingga pukul 10.00Wib. “Di Erofa, jika seseorang berjanji, biasanya mereka akan tepat janji dan berusaha tiba sebelum waktu yang dijanjikan”, kata Sofie padaku sambil mengangkat bahunya.
Sofie dan Hilda yang tiba setelah Zuhur, seharian bersamaku di Kantin Batas Kota bersama beberapa orang pelanggan tetapku. Sofie membuka laptopnya dan melihat foto mereka berdua yang kuabadikan dengan kamera canonku.
Tak kurang dari enam gelas berbagai jenis kopi diminum Sofie dan Hilda. Mulai dari Cappucino, berbahan dasar sari kopi yang didominasi susu segar , Black Coffee , berbahan sari kopi dengan tambahan air hingga Ice coffee, berbahan dasar sari kopi ditambah ice cream. Makanan pavorit mereka pecel dan nasi.
Banyak kisah yang kucoba korek dari kedua tamuku ini. Sofie adalah seorang bidan jika di Indonesia. Dia bekerja di Rumah Sakit di Belgia dengan shift yang ketat. Sementara Hilda bekerja di Super Market .Mereka menabung untuk mengunjungi dunia.
“Apakah setelah pulang mengelilingi dunia, Hilda masih akan bekerja di Super Market”, tanyaku. “Saya belum tahu. Mungkin saya akan berwiraswasta dengan keahlian saya memasak. Mungkin tidak di Belgia. Karena Belgia kurang baik untuk wiraswasta. Mungkin saya akan buka usaha di Francis atau Swiss”, ungkap Hilda.
Aku sempat heran, karena begitu mudahnya Hilda berpindah tempat dari satu Negara ke Negara lainnya di Erofa. Menurut Hilda, jarak antar Negara di Erofa sangat dekat dan bisa ditempuh dengan mobil hanya beberapa jam. Penduduk Erofa mudah pindah dari satu Negara ke Negara lainnya. Mudah melewati perbatasan antar Negara karena rupa para bule ini ngak jauh berbeda meski dari Negara berbeda.
Aku coba terus ingin mengetahui lebih dalam dan lebih jauh tentang kehidupan bule di Erofa. Cara berpikir mereka dan apa yang sesungguhnya mereka cari. Menurut kedua bule ini, ternyata tidak mudah hidup di Erofa karena semua biaya hidup sangat mahal.
Mereka harus bayar semua beban fasilitas yang diberikan Negara. Sampah, air, listrik dan sejumlah pajak gono gini yang harus dibayar tiap bulan. “Meski kaliang menganggap gaji kami lebih tinggi, namun sesungguhnya kami harus membayar banyak hal pada Negara sehingga beban hidup sangat tinggi”, kata Sofie.
Lantas bagaimana mereka bisa mengunjungi setengah dunia?. Menurut bule ini, mereka menabung dengan cara berhemat.”Jika kami berlibur ke Erofa atau Amerika, biayanya mahal. Mulai hotel dan makanan. Jadi kami lebih memilih berlibur di Asia karena lebih murah”, papar Sofie dengan gaya bulenya yang menggerakkan tangan dan bahu.
Perbandingannya, terang Sofie,jika sebulan mereka berlibur di Erofa, jika uang tersebut digunakan di Asia, bsa dipakai hingga dua bulan liburan bahkan lebih. Lalu apa yang didapat mereka dari semua kunjungan ke berbagai Negara ini?.
Menurut Sofie, banyak hal. Apa yang dilihat dan mereka rasakan ternyata memperkaya pemikiran dan bathin mereka. “Kekayaan bukan hanya berupa uang. Tapi apa yang ada di pikiran dan dihati”, sebut Sofie sambil menunjuk kepala dan hatinya.
Aku sempat bertanya, apakah mereka bahagia dengan semua itu? Dikatakan Sofie bahagia, tapi dia mengangkat bahunya. Lantas dengan usia yang hamper berkepala empat, kenapa kedua tamuku ini belum menikah?. Keduanya menyatakan belum menemukan pria yang cocok. Benarkah? Hanya Sofie dan Hilda yang tahu.
Tapi Sofie sempat menyatakan rasa cemburunya karena hamper semua temanku dilihatnya menikah dan memiliki anak.Sebuah kehidupan yang normal yang tidak mereka miliki.
Aku bersyukur pada Allah karena diberi kesempatan dan anugerah agama Islam yang mengatur hidupku dari tidur hingga bangun dan tidur kembali. Selalu dalam bimbingan dan pengawasan Allah. Aku juga bershalawat pada sang kekasih Allah, Muhammad Sallallahu’alaihi wassalam karena sudah memberi contoh tentang hidup yang sesungguhnya.
Muhammad Sallallahu’alaihiwassalam, lelaki pavorit sallallahu’alaihiwassalam yang seharusnya diidolakan semua penduduk Muslim. Bukan Justin B atau Norman Camaru. Sayang negeri ini kini kehilangan tokoh pasa ulama merapat ke kekuasaan pemerintahan karena takut tidak keren. Takut tidak dapat mobil dinas dan gaji dari pemerintah sehingga untuk khutbah Jum’atpun temanya ditentukan dan diatur.Akh..andai saja Rasul Sallallahu’alaihiwassalam masih hidup, Rasul Sallallahu’alaihiwassalam tentu akan kecewa melihat ulama di Kampungku.Ulama Su’.Membiarkan judi, prostitusi, korupsi, selingkuh, jual beli hokum hingga narkoba dan banci yang terus merajalela. Tak ada lagi yang membela masyarakat yang tak punya beking, kecuali Allah.
Lantas bagaimana Sofie dan Hilda mengunjungi antero dunia. Apa petunjuk yang mereka gunakan?. Ternyata, Sofie dan Hilda sebelum bepergian membeli buku panduan wisata dunia. Lonely Planet. Buku yang berisi tentang petunjuk, tempat, kenderaan, makanan, rute, losmen dan sejumlah keterangan lainnya bagi wisatawan dunia.
“Buku ini saya beli di Belgia beberapa belas euro. Kalau dirupiahkan sekitar Rp.450 ribu”, ujar Hilda. Dengan buku tersebut mereka menentukan rute dan wilayah dunia yang akan dikunjungi. Seperti Sofie yang telah tiga kali ke Indoesia, tujuh kali ke Nepal dan sejumlah Negara lainnya.
Dalam buku tersebut, aku sempat membaca karcis masuk ke Loyang Koro Rp.3000,-. “Kami tidak menemukan rute dan keterangan lengkap tentang wisata di Takengon yang dikeluarkan pemerintah”, jelas Sofie.
Pagi , Selasa (26/4/11) Sofie dan Hilda menuju Ketambe, sesuai literature Lonely Planet yang dibuat di luar negeri. Sambil bersalaman, Sofie sempat berucap, Anytime if you come to Erofah, we will welcome for you”, kata Sofie sambil menaiki L300 yang akan membawanya ke Ketambe.
Aku sempat tertawa. Aku tidak tahu Sofie, apakah aku sampai ke Erofa (Aman Shafa)

Komentar

Postingan Populer